Manggala Chapter 3 : Ranum

#Chapter3 : Ranum

.

.

.

.

Tap, tap.

Suara langkah sepatu converse itu berbaur diantara hiruk pikuk bandara. Si pemakai adalah perempuan tinggi dengan warna kulit coklat seperti layaknya orang Indonesia pada umumnya. Dia tersenyum puas sambil melihat jam tangannya. Ia sampai tepat waktu.

“Jadi, siapakah bocah yang harus kujemput itu?” jemarinya menscroll layar ponselnya dengan cepat dan berhenti tepat di sebuah foto.

Dan di foto tersebut tertera sebuah nama.

Manggala.

“Manggala . . .” gumam perempuan itu. “Nama yang hebat. Mari kita lihat apakah orangnya sehebat namanya.”

Setelah berkata itu, si perempuan berbelok ke arah pintu keluar.

~OOO~

“Hari ini kita akan belajar global warming. Apa itu global warming? Ada yang bisa menjelaskan?”

Telunjung anak terpintar di angkatannya terancung. Mudah ditebak.

“Ya, Affana?”

“Menurut saya global warming atau pemanasan global adalah sebuah fenomena dimana suhu bumi naik secara drastis yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya penggundulan dan pembakaran hutan tanpa reboisasi.”

“Tepat sekali! Terima kasih, Affana. Kamu boleh duduk.” Guru itu tersenyum berterima kasih kepada Affana lalu melanjutkan, “yah seperti uraian Affana tadi, global warming tentu merupakan masalah serius. Tentu saja fenomena ini bisa dicegah . . . bila Manggala tidak sibuk dengan ponselnya dan mulai memerhatikan saat saya mengajar.”

Manggala tersentak di tempatnya, lantas menoleh takut-takut kepada gurunya. Guru Biologi itu sudah memasang wajah jutek dan mengulurkan tangan.

“Handphone-mu, Manggala. Berikan kepada Ibu.”

“Ta-tapi Bu-“

“Tidak ada tapi-tapian. Handphone-mu. Sekarang.”

Manggala mengumpat kesal dalam hati. Ini semua gara-gara pelanggan cerewet yang minta di konfrimasi sekarang juga. Dasar menyebalkan! Haruskah ia memberitahu identitasnya sebagai murid SMA agar pelanggannya lebih pengertian?

“Manggala! Ibu bilang SEKARANG!”

Gelagapan Manggala menyerahkan handphone-nya kepada guru itu. Ibu guru hanya tersenyum sinis lalu berbalik kembali ke depan kelas.

“Ibu harap ini tidak terulang lagi. Sekarang, perhatikan.”

~OOO~

Manggala sibuk mundar-mandir di depan ruang guru. Menunggu guru Biologinya keluar secara sukarela sembari mencari alasan bagus untuk mendapatkan handphonenya kembali.

Kriet.

Pintu ruang guru terbuka. Yang keluar bukanlah guru dengan kacamata dan berhak tinggi seperti yang Manggala harapkan, melainkan cewek tinggi manis dengan rambut semi-tembaga dan kulit coklat natural.

“Manggala, ‘kan?” tanya perempuan itu dengan yakin. Sorot matanya cerdas dan penuh perhitungan.

“Ehh?” refleks Manggala heran. Bagaimana cewek ini tau namanya?

Seolah bisa membaca pikirannya cewek itu menjelaskan, “Tadi Bu Ani ngasih tau,” Bu Ani nama guru biologinya, “katanya minta diantarkan oleh cowok yang dari tadi mondar-mandir di depan pintu guru. Namanya Manggala. Setelah nganterin gue, baru deh lo boleh menghadap beliau.”

Manggala menghela nafas. “Anak baru?”

“Udah satu setengah jam kok resmi jadi murid sekolah ini,” candanya dan mengulurkan tangan. “Gue Ranum.”

Saat menjabat tangannya Manggala dapat merasakan hangat tangannya. Namun entah mengapa tangan hangat itu mendadak jadi panas seolah hendak membakar tangannya. Refleks Manggala menarik lepas tangannya. Ia melihat heran ke arah tangan itu lalu menatap wajah cewek itu yang masih menyunggingkan senyum, walau sepintas ada kebingungan di wajahnya.

“Sorry, gu-gue Manggala. Kelas lo dimana?”

“10 IPA 2.”

“Oh, kita sekelas!” Manggala memutuskan untuk tidak memikirkan lebih jauh. “Sini biar gue anterin. Ayo ikutin gue.”

~OOO~

Ranum duduk tepat di sebelah Manggala. Gadis itu cepat beradaptasi sehingga hanya dalam beberapa hari ia sudah mempunyai banyak teman.

“Panas banget~” gerutu Bimo sambil kipas-kipas dengan kertas soal ulangannya yang baru dibagikan. “Udah nilai panas, udara panas, otak jadi panas maka hati pun panas.”

“Oi ketua kelas, kapan nih AC diperbaikin?”

“Sabar woy, baru diomongin ke walas kita.”

Manggala mengulum senyum. Tentu saja dengan kemampuannya mengendalikan cuaca, ia bisa menyerap suhu sebanyak yang ia butuhkan untuk tetap membuat suhu tubuhnya stabil. Manggala mengedarkan pandangannya menyisiri ruangan. Hanya selang satu orang di samping kanannya dia duduk sejajar dengan Ranum. Gadis itu tidak tampak terganggu sedikitpun. Ia setia dengan handphonenya dari tadi.

“Masih baca, Num? Baca apaan sih?” tegur teman sebangkunya.

Ranum menoleh. “Wattpad. Ada cerita seru nih!”

“Oh ya? Udah lama gue ga baca Wattpad. Tentang apaan?”

“Hmmm, pokoknya tentang sekelompok remaja yang bersahabat dan masing-masing dari mereka tuh kayak punya kekuatan unik gitu!”

“Kedengerannya mainstream.”

“Emang sih, tapi seru kok. Apa lagi ada salah satu tokohnya yang bisa mengendalikan cuaca!”

“Wah, coba ada orang yang benar-benar seperti itu. Kita gak akan menderita kepanasan.”

“Yap benar,” ujar Ranum sependapat. Tatapan ke arah teman sebangkunya itu, “jika saja ada orang seperti itu di dunia ini. Akan sangat menarik, ya ‘kan?”

Tapi Manggala berani bersumpah kalau saat itu Ranum menatap tepat ke matanya.

Dan tatapan itu amat misterius.

~OOO~

Manggala yakin sejak saat itu ia semakin sering memperhatikan Ranum. Ia bisa merasakannya.

Ia bisa merasakan bila Ranum berbeda. Sama sepertinya.

Tapi sejauh dua minggu pengamatannya, ia belum menemukan bukti. Sekarang dia mulai berpikir kalau semua itu hanya hayalannya saja.

“Untuk apa kau datang ke sini?”

Manggala membeku di tempat.

Itu suara Ranum!

Tetapi apa yang dilakukannya di sini? Di gudang sekolah?

“Jangan ganggu aku!”

Dengan siapa ia berbicara? Pikir Manggala. Dan lagi pula, ada apa dengan gaya bicaranya? Sejak kapan ia menggunakan aku-kamu?

“Pergilah, aku sedang sibuk.”

Manggala mengintip dari balik tembok. Tapi ia tidak melihat siapapun. Tidak seorang pun berada di sana kecuali Ranum.

Oke, siapa yang gila di sini?

“Aku berjanji akan menyelesaikannya dengan cepat!” Ranum berseru gusar. “Tapi it still takes time, right? Dia tidak akan mungkin bisa menembus portal tanpa keinginannya sendiri. Bagaimanapun juga dia tidak sama dengan kita! Dia manusia!”

Tidak terdengar balasan, tapi wajah Ranum terlihat semakin kesal. “Bilang saja pada Pak Tua itu, aku tidak peduli. Aku akan menyelesaikan misi ini dengan caraku!”

Whoa, whoa.

Gadis itu pasti memiliki gangguan jiwa.

Demi Tuhan, Manggala berani bersumpah bila ia tidak melihat apapun.

Tapi seperti biasa Takdir tidak pernah setuju dengan pendapatnya, karena kejadian selanjutnya sangatlah menakjubkan. Ranum tampaknya hampir meledak marah karena ia menunjuk dan berteriak keras,

“KAU . . .!!! DASAR MAHLUK- “

Belum sempat Ranum menyelesaikan kata-katanya seolah ada yang menutup paksa mulutnya dan ia terjungkal.

Tapi Ranum tidak terjatuh.

Ia mengambang.

Dengan posisi mau jatuh, Ranum mengambang di udara.

Manggala yakin bahwa Ranum tidak membutuhkan bantuan dokter kejiwaan. Bukan Ranum, tapi dia sendiri. Manggala butuh dokter jiwa atau siapapun untuk mengatakan kalau ini hanya khayalannya saja. Setengah gemetar setengah sadar, Manggala melangkah mundur.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.

Lalu ia berbalik dan lari.

~OOO~

Malamnya Manggala tidak bisa tidur. Kejadian Ranum itu terus menerus terulang di kepalanya. Manggala tau kalau memang pasti ada rahasia-rahasia berbahaya yang terjadi secara terselubung di dunia ini. Hal-hal itu melebur bersama dengan masyarakat dan terkadang tidak tampak berbeda.

Hal ini serupa dengan keadaanya. Siapa dapat mengira bahwa Manggala, seorang remaja biasa bisa mengendalikan cuaca semaunya?

Manggala bertekad untuk melupakan kejadian ini dan bersikap seperti biasa. Ia tidak akan mengusik-usik Ranum ataupun peduli akan hal-hal aneh yang dialami Ranum. Sama seperti ia tidak ingin orang lain mengusik hidupnya, ia yakin Ranum pun tidak ingin diganggu.

Dengan tekad itu, malam itu Manggala memaksakan dirinya untuk tidur.

.

.

.

To Be Continued

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai
search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close